RAPIMNAS REPDEM

Sunday, November 20, 2011

Freeport adalah Tiang Pancang Neo Kolonialisme-Imperialisme di Indonesia

Freeport  adalah Tiang Pancang Neo Kolonialisme-Imperialisme di Indonesia
Masinton Pasaribu*

Dua puluh tahun dalam masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1965), Presiden Soekarno sebagai “Pemimpin Besar Revolusi ” berjuang demi  lenyapnya struktur ekonomi kolonialis –imperialis yang telah tertanam selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda di bumi Nusantara.
Desember 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Semua Perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti: Perusahaan Perkebunan, Netherlansche Handels Mattscapij, Perusahaan Listrik, Perusahaan Perminyakan, Rumah Sakit (CBZ) menjadi RSCM. Bahkan presiden Soekarno mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan seperti: Memindahkan pesar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat), Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia, Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia, dan Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda.
Melalui program Nasionalisasi oleh presiden Soekarno, transisi ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berhasil mengembalikan 70 persen aset-aset strategis nasional Indonesia yang dikuasai Belanda.
Transformasi ekonomi kolonial ke ekonomi nasional atau ekonomi berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) ditujukan untuk menciptakan system ekonomi nasional yang berkeadilan; bebas dari imperialisme, bebas dari penghisapan, dan terbebas  dari eksploitasi asing. Cita-cita ekonomi nasional yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, secara gamblang diterjemahkan sebagai masyarakat adil dan makmur.
Menurut Bung Karno, ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial memiliki tiga ciri, pertama, diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industry maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industry maju. Ketiga, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara industry maju.
Untuk membentengi laju neo kolonialisme-imperialisme kembali. Nasionalisme ekonomi, politik, dan kebudayaan dibingkai dalam panji Trisakti: Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidang ekonomi, dan Berkepribadian di bidang kebudayaan.
Kepemimpinan Bung Karno menentang Nekolim (Neo-kolonialisme dan imperialisme) tentu tidak menguntungkan kepentingan negara-negara kapitalis yang diwakili Amerika Serikat dan sekutu baratnya untuk secara bebas mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.
Dimulailah operasi untuk menyingkirkan Bung Karno, melalui program kerjasama militer yang difasilitasi oleh Amerika Serikat. Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer Indonesia. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Dimulai dengan dalih menumpas Gerakan 30 September 1965, Jenderal Soeharto dengan dukungan Amerika Serikat menyingkirkan kekuatan elemen progresif revolusioner yang secara gigih menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme di bumi Nusantara, bahkan sebelum Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Tahun 1967 Soeharto dengan orde barunya mulai berkuasa penuh menjalankan dan mengendalikan roda pemerintahan Indonesia. Untuk melegalkan persembahan sekaligus upeti istimewa kepada AS maka dibuatkanlah UU Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967, dan UU Pertambangan Nomor 11/1967. Kedua UU ini untuk melegalkan kehadiran PT.Freeport di Papua, serta berbagai perusahaan internasional mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedua undang-undang tersebut draftnya dirancang di Jenewa-Swiss oleh tim ekonomi orde baru (Mafia Berkeley) yang didiktekan oleh David Rockefeller (penasihat CIA). PT.Freeport. adalah kontrak pertama kali yang ditandatangani Soeharto, tahun 1967. Inilah awal bercokolnya kembali ekonomi kolonialis-imperialis menggusur ekonomi nasional Indonesia. 
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya.
Pada tahun 1988 para geolog menemukan cadangan kelas dunia Grasberg. Operasi PT.Freeportmenjadi salah satu proyek tambang tembaga/emas terbesar di dunia. Di akhir tahun 1991, Kontrak Karya kedua ditandatangani dan PT.Freeport diberikan hak oleh Pemerintah Indonesia untuk meneruskan operasinya selama 30 tahun (artinya beroperasi sampai 2021).
Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, bahkan Soekarno pada tahun 1961 membuatkan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak dengan asing justru merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Soeharto dan para pewarisnya sekarang seperti SBY bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silahkan Mister…”
Emas yang dihasilkan PT.Freeport perharinya tidak pernah dilaporkan secara terbuka kepada negara dan pemerintah Indonesia. Bahkan hingga saat ini negara tidak tau berapa persisnya emas yang dihasilkan oleh PT.Freeport. Padahal 250 ribu ton bijih emas setiap harinya dikeruk dari bumi Papua. Bahkan dikabarkan PT.Freeport mengambil Uranium yang harganya ribuan kali diatas harga emas.
Freeport terus meraup keuntungan luar biasa besar dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambang emasnya di Indonesia. Hingga saat ini royalti emas yang seharusnya dibayarkan PT.Freeport kepada Negara Indonesia sebesar 3,75 persen (berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2003), tetapi hanya dibayarkan 1 persen. Secuil keuntungan yang diserahkan ke Indonesia, itupun hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan pejabat pusat di Jakarta serta pejabat daerah di Papua.
Kehadiran Freeport di Indonesia sudah 44 tahun lamanya. Selama 43 tahun Freeport memperoleh 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Jika kita ambil emas saja, kita nilai dengan harga sekarang, yakni Rp 500.000 per gram, nilainya setahun 724.700.000 gram x Rp 500.000 atau Rp. 362.350 triliun. Setiap tahun, Rp 362.350 triliun dibagi 43 atau Rp 8.426,7442 triliun, dibulatkan menjadi Rp 8.000 triliun (Kwik Kian Gie, Kompas 17 Nov 2011).
Penghasilan Freeport lebih dari cukup untuk membayar hutang Indonesia. Hingga saat ini hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.700 triliun ditanggung oleh rakyat Indonesia melalui pengurangan dan pencabutan subsidi terhadap rakyat kecil, menyebabkan beban hidup rakyat Indonesia semakin terhimpit ekonominya dan semakin miskin. Manfaat ekonomi yang dinikmati rakyat Indonesia dan Papua atas kehadiran Freeport selama ini tak ada beda dengan zaman VOC dan zaman kolonial, bahkan lebih parah lagi.
Dalam aspek lingkungan Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahkluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar yang mengancam kelestarian lingkungan hidup dan menciptakan kepunahan berbagai spesies di sungai Ajkwa akibat limbah tailing Freeport. Setiap hari sedikitnya 250 ribu ton bijih emas dikeruk dari perut bumi Papua. Jumlah ini bisa disamakan dengan 25 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer 250 kilometer sepanjang jalanan pantura Jawa.
Untuk mengamankan operasinya Freeport, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan 20 juta dollar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dollar. Selain itu juga Freeport mengeluarkan 35 juta US dollar (315 miliar rupiah) membangun infrastruktur militer. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 90 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu  sekitar Rp 270 miliar, dan berbagai fasilitas lainnya.
Perlakuan khusus secara berlebihan terhadap kehadiran perusahaan emas dan tembaga PT.Freeport adalah akar dari persoalan di Papua. Freeport menciptakan ketidakadilan, kekerasan, pengrusakan lingkungan dan penyingkiran masyarakat setempat. Operasi PT.Freeport Indonesia seperti negara dalam negara dimana tidak ada ruang bagi pengawasan pihak independen dan media secara secara luas. Kekerasan, pengrusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial telah menjadi melekat dalam sejarah operasi PT.Freeport Indonesia di Papua.
Sepuluh tahun pelaksanaan otonomi khusus Papua tidak berarti banyak untuk peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur di Papua. Bahkan 7 tahun usia pelaksanaan Otonomi Khusus dibawah presiden SBY justru melebarkan jurang kesenjangan di Papua, tindak kekerasan aparat  TNI/Polri sejak zaman orde baru Soeharto terhadap rakyat Papua masih dilanjutkan oleh SBY yang mengutamakan aksi militeristik ketimbang pendekatan kemanusiaan, serta semakin mengguritanya praktek korupsi di pusat dan daerah di bawah pemerintahan korup yang dipimpin oleh SBY-Boediono.
Korporatokrasi tercermin dalam pemerintahan SBY-Boediono. Korporatokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai, dijalankan oleh beberapa korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha kaya raya/konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik ekonomi, sosial budaya, dan lain lain dalam suatu negara. Pokok kekuatan korporatokrasi adalah korporasi. Di depan bangsa-bangsa dunia, korporatokrasi mempertontonkan upaya mempromosikan demokrasi dan transparansi diantara bangsa-bangsa dunia. Namun korporasi-korporasinya tak lain adalah pemerintahan diktator yang imperialistik. Korporatokrasi bertujuan untuk membangun sebuah Imperium tak tertandingi (John Perkins; Membongkar Kejahatan Internasional. Penerbit Ufuk Press) .
Freeport adalah Benteng Utama yang harus dijebol untuk menasionalisasi seluruh aset-kekayaan Indonesia yang dikuasai korporasi asing (Chevron, Exxon, Total, Shell, Newmont, CNOOC, dan lain-lain).
Indonesia sejak masa orde baru Soeharto hingga SBY saat ini adalah Indonesia yang dijarah, kekayaannya dihisap habis, potensinya dilemahkan, posisi tawarnya dihadapan lembaga internasional menjadi tak berharga, rakyatnya dimiskinkan, dan sistemnya diciptakan hanya untuk menguntungkan segelintir orang yang menjadi agen dan perantara jaringan hitam korporatokrasi.
Menutup dan mengusir Freeport adalah bagian dari sejarah Bangsa Indonesia memperjuangkan kedaulatan ekonomi nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan benegara Indonesia, masyarakat adil dan makmur.
Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia haruslah berpijak pada kedua kakinya politik dan ekonomi. Nasionalisme politik dan ekonomi, Demokrasi politik dan ekonomi. Yang oleh Bung Karno disebut sebagai, Sosio Nasionalisme-Sosio Demokrasi.
_____________________________________________________________________
* Ketua Umum REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi)

Friday, November 11, 2011

USIR FREEPORT DARI INDONESIA

AKSI 10 Nov 2011 USIR FREEPORT !!
Aksi 02 Nov 2011

Aksi 03 Oktober 2011

FREEPORT HARUS DIUSIR !!

SEJARAH PT.FREEPORT = SEJARAH PENJAJAHAN !!
Sejarah kehadiran PT. Freeport di Indonesia adalah sejarah pengukuhan kembali beroperasinya mesin-mesin penjajahan baru merampok kekayaan alam Tanah Air Indonesia. Dimulai dengan penggulingan presiden Soekarno yang anti kolonialisme dan imperialisme oleh Jenderal Soeharto yang didukung oleh kekuatan kapitalisme internasional, Amerika Serikat.
Hadiah besar yang diberikan oleh Soeharto kepada tuannya kapitalisme internasional adalah dengan diterbitkannya UU Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967, dan UU Pertambangan Nomor 11/1967 untuk melegalkan kehadiran PT.Freeport di Papua dan berbagai perusahaan internasional mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Bahkan kedua undang-undang tersebut draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan oleh David Rockefeller (penasihat CIA). Perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto tahun 1967 adalah dengan perusahaan Amerika Serikat PT.Freeport. Inilah pertama kali awal mula kontrak pertambangan yang tidak adil buat rakyat Papua dan menghilangkan kepentingan nasional Indonesia. 
Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, bahkan Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak dengan asing justru merugikan kepentingan nasional Indonesia. Dari tahun ke tahun Freeport terus meraup keuntungan besar dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambang emasnya di Indonesia. 
PENGHASILAN PT.FREEPORT 3000 TRILIUN RUPIAH
Pengakuan PT.Freeport (padahal masih banyak yang mereka tutupi), penghasilan bersih PT Freeport Indonesia perharinya mencapai US$ 20 juta  atau jika dikalikan dengan 31 hari hasilnya adalah:  US$ 620 Juta (jika dirupiahkan sekitar 5,5 triliun). Apabila penghasilan PT Freeport Indonesia sebesar  US$ 620 Juta per bulan, maka penghasilan pertahunnya adalah kurang lebih  70 Triliun rupiah, kalau dikalikan dengan 44 tahun keberadaan Freeport di Indonesia maka keuntungan bersihnya lebih kurang mencapai Rp 3.000 triliun, sebuah jumlah yang cukup fantastis. Keuntungan Freeport bisa untuk menutupi utang luar negeri Indonesia sejumlah 1.700 triliun rupiah yang selama ini bebannya ditanggung oleh rakyat Indonesia dan rakyat Papua.
Freeport membohongi rakyat Indonesia dan Papua, royalti emas yang seharusnya dibayarkan PT.Freeport kepada Negara Indonesia sebesar 3,75 persen (PP Nomor 45 Tahun 2003) hanya dibayarkan 1 persen saja. Bahkan suku Amungme dan Suku Komoro pemegang Hak Ulayat yang tanahnya dipakai pertambangan Freeport tidak pernah menerima kompensasi seperti dana perwalian yang tertuang dalam MOU dengan Freeport tahun 2000. 
LIMBAH BERACUN PT.FREEPORT
Dalam aspek lingkungan bahwa Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahkluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar yang mengancam kelestarian lingkungan hidup dan menciptakan kepunahan berbagai spesies di sungai Ajkwa akibat limbah tailing Freeport.
Kehadiran Freeport menjadi sumber segala masalah untuk rakyat Papua, kekayaan alam yang dikeruk tidak digunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat Papua. Bahkan Freeport memobilisasi aparat militer TNI/Polri untuk mengamankan kepentingannya di Papua.
UANG SUAP KEAMANAN PT.FREEPORT UNTUK TNI/POLRI
Untuk mengamankan operasinya Freeport menghabiskan 35 juta dolar (315 miliar rupiah) untuk membangun infrastruktur militer. Freeport juga membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 180 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 90 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 270 miliar, dan berbagai fasilitas lainnya. Bahkan terhitung sejak tahun 2001-2010 PT.Freeport menggelontorkan uang senilai USD 79,1 juta (711 miliar rupiah) kepada Polri.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua gagal total. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, faktanya lebih dari setengah penduduk Papua miskin.
REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi)
Sekretariat DPN REPDEM: Jalan Cikini I Nomor 3B, Menteng Jakarta Pusat. Tel/Fax. +62.21.3922725 EMAIL: dpn.repdem@gmail.com
99 persen keuntungan Freeport dari tanah Papua dibawa ke Amerika Serikat, hanya 1 persen yang diberikan kepada Indonesia, dari secuil keuntungan yang diserahkan ke Indonesia tersebut itupun hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan pejabat pusat di Jakarta serta pejabat daerah di Papua.
10 tahun pelaksanaan otonomi khusus Papua tidak berarti banyak bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur di Papua. Bahkan 7 tahun usia pelaksanaan Otsus Papua yang berada dibawah kekuasaan presiden SBY justru melebarkan jurang kesenjangan di Papua, tindakan kekerasan aparat  TNI/Polri terhadap rakyat papua terus terjadi, korupsi dikalangan birokrasi pemerintahan daerah papua justru dibiarkan berkembang biak oleh rezim korup yang dipimpin oleh presiden SBY.
Benteng utama kekuatan asing yang merampas kekayaan dan kedaulatan Indonesia yang harus dijebol adalah praktek eksploitasi PT Freeport di tanah Papua. Untuk itu, dengan segenap kekuatan dan semangat anti penjajahan serta anti penindasan, maka sebagai pertanggung jawaban sejarah generasi Indonesia. Maka, kami yang tergabung dalam Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM), dengan lantang menyatakan;
  1. USIR FREEPORT DARI INDONESIA !! Bahwa Freeport adalah kunci utama yang harus dibuka untuk mulai menasionalisasi seluruh aset-kekayaan Indonesia yang dikuasai asing (Chevron, Exxon, Total, Shell, Newmont, CNOOC, dll)
  2. Nasionalisasi Perusahaan Asing di Indonesia
  3.  Hentikan Kekerasan Negara di Tanah Papua
  4. Penuhi Tuntutan Kenaikan Upah Buruh PT.Freeport 7,5 Dollar perjam

Ini Dasarnya Kenapa Freeport Harus Hengkang dari Indonesia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bukannya tanpa alasan mengapa Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) melakukan aksi unjuk rasa di depan Plaza 89, Rasuna Said, Jakarta Selatan mendesak PT Freeport untuk hengkang dari Indonesia.
Sesuai Rilis yang diperoleh Tribunnews.com, inilah alasan yang membuat Repdem dan beberapa kelompok massa yang tergabung dalam aksi bersama ingin mengusir Freeport dari Indonesia.

Yang pertama, dari segi keuntungan, penghasilan bersih PT. Freeport dalam setahun mencapai Rp 70 triliun, Jika dikalikan 44 tahun keberadaan Freeport di Indonesia, Keuntungan bersihnya kurang lebih mencapai Rp 3.000 Triliun.
Dari keuntungan tersebut, keuntungan Freeport bisa menutupi utang luar negeri Indonesia sejumlah 1.700 Triliun yang selama ini ditanggung rakyat Indonesia.

Kedua, PT. Freeport membohongi Indonesia mengenai Royalti emas yang seharusnya dibayarkan kepada Indonesia sebesar 3,75 persen sesuai PP Nomor 45 Tahun 2003, tapi hanya dibayarkan 1 persen.

Ketiga, Freeport telah membuang tailing dengan kategori Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang telah melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) melalui sungai Ajkwa yang mengalir ke pesisir laut Arafura sehingga mengancam kelestarian lingkungan laut.

Keempat, Untuk mengamankan operasinya, Freeport menghabiskan Rp 315 miliar untuk membangun infrastruktur militer dan membayar paling sedikit Rp 180 Miliar kepada militer dan Polisi di Papua pada tahun 1998 sampai bulan Mei 2004.

 http://www.tribunnews.com/2011/11/10/alasan-repdem-freeport-hengkang-dari-indonesia

Tuesday, November 08, 2011

PERNYATAAN SIKAP REPDEM: AKSI USIR FREEPORT (02 NOVEMBER 2011)




 

PERNYATAAN SIKAP
RELAWAN PERJUANGAN DEMOKRASI
AKSI 02 NOVEMBER 2011
USIR FREEPORT DARI INDONESIA !!
Lebih baik kita tiada bertraktor dan tiada berbuldozer daripada mengorbankan sebagian kecil pun daripada kedaulatan kita dan cita-cita kita, lebih baik kita membuka hutan dan meggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini, daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar atau rubel.” (Bung Karno, DBR II, Hal.257)

Sejarah kehadiran PT. Freeport di Indonesia adalah sejarah pengukuhan kembali beroperasinya mesin-mesin penjajahan baru merampok kekayaan alam Tanah Air Indonesia. Dimulai dengan penggulingan presiden Soekarno yang anti kolonialisme dan imperialisme oleh kekuatan kapitalisme internasional melalui Jenderal Soeharto.
Konsesi pertama yang diberikan oleh Soeharto kepada tuan besarnya adalah diterbitkannya UU Penanaman Modal Asing Nomor 1/1967, dan UU Pertambangan Nomor 11/1967  yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan David Rockefeller (penasihat CIA), disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto adalah Freeport. Inilah pertama kali kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia.
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 44 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu bagi Negara Indonesia, Masyarakat Papua, dan Masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambang emasnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009).  Berdasarkan data yang dirilis Oleh PT Freeport Indonesia (BBC news), bahwa penghasilan PT Freeport Indonesia perharinya mencapai US$19 juta atau jika dikalikan dengan 31 hari hasilnya adalah:  US$589 Juta. Apabila penghasilan PT Freeport Indonesia sebesar  US$589 Juta per bulan, maka penghasilan pertahunnya adalah kurang lebih  Rp 70 Trilyun, sebuah jumlah yang cukup fantastis.
Freeport membohongi rakyat Indonesia dan Papua, royalty emas yang seharusnya dibayarkan PT.Freeport kepada Negara Indonesia sebesar 3,75 persen (PP Nomor 45 Tahun 2003) hanya dibayarkan 1 persen saja. Bahkan suku Amungme dan Suku Komoro pemegang Hak Ulayat yang tanahnya dipakai pertambangan Freeport tidak pernah menerima kompensasi seperti dana perwalian yang tertuang dalam MOU tahun 2000.
Dalam aspek lingkungan bahwa Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.
Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport.
Sikap rakyat Papua meminta penyelesaian Freeport, selalu saja di jawab dengan bedil senjata, munculnya isu separatisme, konflik perang suku, mobilisasi aparat militer di areal Freeport bahkan membanjirnya dana-dana taktis Negara lebih pada pengutamaan pengamanan asset perusahaan ketimbang Negara memberi ruang kesejahteraan kepada warga Negara sendiri.
Untuk mengamankan operasinya Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer —Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.
Bahkan PT Freeport Indonesia, telah menggelontorkan duit senilai USD79,1 juta terhitung sejak tahun 2001-2010 kepada Polri. Bandingkan fasilitas untuk TNI/Polri dengan kesejahteraan rakyat Papua?
Bahwa benteng utama kekuatan asing yang merampas kekayaan dan kedaulatan Indonesia yang harus dijebol adalah praktek eksploitasi PT Freeport di tanah Papua. Untuk itu, dengan segenap kekuatan dan semangat anti penjajahan dan anti penindasan, sebagai pertanggung jawaban sejarah kami rakyat Indonesia yang tergabung dalam Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM);
  1. USIR FREEPORT DARI INDONESIA !! Bahwa Freeport adalah kunci utama yang harus dibuka untuk mulai menasionalisasi seluruh aset-kekayaan Indonesia yang dikuasai asing (Chevron, Exxon, Total, Shell, Newmont, CNOOC, dll)
  2. Negara (Pemerintahan SBY-Boediono) harus bertanggung jawab memenuhi rasa keadilan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat Papua
  3.  Hentikan politik “devide et impera” Freeport yang mengadu domba Bangsa Indonesia dengan menciptakan isu kelompok separatisme di Papua.
  4. Mendukung Penuh Perjuangan Buruh PT.Freeport memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraannya.

Jakarta, 02 November 2011
Aksi Usir Freeport dari Bumi Indonesia, juga diikuti oleh perwakilan REPDEM Jabodetabek, REPDEM Purwakarta, REPDEM Yogyakarta, REPDEM Kulonprogo.

Sekretariat DPN REPDEM: Jalan Cikini I Nomor 3B, Menteng Jakarta Pusat. Tel/Fax. +62.21.3922725 EMAIL: dpn.repdem@gmail.com

Sunday, October 02, 2011

MENDESAK RENEGOSIASI KONTRAK TAMBANG EMAS FREEPORT

Ekonomi - / Senin, 26 September 2011 14:54 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Sejumlah organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat menemui pimpinan DPR. Mereka meminta DPR membantu mendesak pemerintah merevisi kontrak karya PT Freeport.

"Sampai saat ini, kita hanya kebagian satu persen dari keuntungan yang didapat perusahaan tersebut dari penambangan emas. Untuk itu, kami minta DPR mendorong renegosiasi dan DPR harus berani melakukannya" ujar Sekjen Indonesian Human Right Committe For Social Justice (IHCS),  yang didampingi Ray Rangkuti (Lingkar Madani), Masinton (RepDem) saat melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (26/9).

Gunawan mengatakan, karyawan PT Freeport sendiri sedang melakukan mogok kerja dan sudah berlangsung sebelas hari. Mereka menuntut kenaikan upah yang kecil. Lebih jauh soal kontrak karya, Gunawan menuturkan di tengah Indonesia kesulitan mencari penerimaan besar bagi negara, kekayaan alam malah dikuasai asing. Apalagi PT  Freeport melanggar ketentuan hukum.

Gunawan menceritakan di dalam kontrak karya I Freeport, tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayar royalti emas. Namun, setelah ketahuan bahwa Freeport menambang emas, baru dalam kontrak karya II Freeport wajib membayar royalti emas sebesar satu persen. Lantas, kemudian muncul PP Nomor 45 Tahun 2003 yang mengatur royalti emas sebesar 3,75 persen.

"Sesungguhnya lebih rendah dibandingkan negara-negara Afrika. Namun ternyata oleh Freeport PP tersebut hingga kini tidak berlaku untuk Freeport," katanya.

Anggota DPR sendiri pernah  mempertanyakan hal ini. Presiden pun pernah membahas renegoisasi kontrak karya pertambangan. "Tapi semuanya belum ada yang kongkrit. Perkembangan di pengadilan kasus tersebut mediasi antara IHCS, Freeport, Menteri ESDM, Presiden dan DPR,"terangnya.

Oleh sebab itu, ia meminta DPR menggunakan memontum ini bersama pemerintah.  "Melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan,"tandas dia.

Sementara itu Pramono menyatakan DPR hanya bisa menjadi fasilitator antara PT Freeport dan  para karyawan. "Agar mogok bisa berhenti, karyawan tidak melakukan tindakan kekerasan dan dari PT Freeport tidak melakukan provokasi."Pungkasnya.(Andhini)
http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/09/26/66080/DPR-Diminta-Desak-Pemerintah-Revisi-Kontrak-Karya-Freeport

Sunday, August 28, 2011

TENTANG PENJAJAHAN BARU

Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota. Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.
 
Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil, maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit. Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim).

Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia, Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.

Dulu tidak ada yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris di negeri gemah ripah loh jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat. Gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini masih belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini. Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk menutupi kejahatan mereka.

Neokolonialisme-imperialisme ini adalah penjajahan baru, yang merupakan warisan historis penjajahan lama. Tapi harus dimengerti dalam konteks Indonesia, dan dalam konteks geopolitik Asia, Afrika dan Amerika Latin, neokolonialisme-imperialisme sangatlah relevan jika merujuk sejarah kelam penjajahan. Karena itu pula segala bentuk penindasan yang dialami setelah bangsa Indonesia merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin pun merdeka, tak lain dan tak bukan adalah praktek neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini dilakukan via kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan juga di negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Secara alamnya, memang kawasan ini pula yang kaya akan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dampaknya neokolonialisme-imperialisme juga sama mengerikan. Jutaan rakyat di dunia—terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin—menderita kelaparan, ratusan juta lainnya masih dihantui kemiskinan. Sementara segelintir orang tetap berkuasa, mengisap keuntungan dari arus perputaran kapitalnya. Selanjutnya, surplus kapital tersebut masih juga diputar lagi di negara-negara miskin dan berkembang. Kejadian ini terus berulang hingga saat ini dengan aktor-aktor penjajahan baru selain negara: perusahaan transnasional raksasa (TNCs) dan lembaga-lembaga rejim internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Namun secara historis, bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini jugalah yang tercatat sebagai bangsa-bangsa pejuang yang tidak diam saja menghadapi penjajahan. Bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin inilah yang pertama kali bergerak melawan penjajah. Bangsa-bangsa ini pulalah yang keinginan merdekanya sangat kuat. Dan akhirnya bangsa-bangsa ini pula yang akhirnya menjadi negara-negara merdeka di dunia, dengan perjuangan berat yang mengorbankan keringat, darah dan air mata rakyatnya.
Setelah melewati perjuangan melawan kolonialisme yang berabad-abad lamanya, mulai pertengahan abad ke-20 di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini mulailah bermunculan negara-negara yang merdeka. Dan pada tahun 1955, akhirnya negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika menyatakan kepada dunia dengan suara lantang: bahwa rakyat di Asia dan Afrika menolak yang namanya imperialisme. Dan bahwa hal ini diamini oleh konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 naskah asli sesuai pembukaannya, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Momentum Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan negara-negara baru tersebut tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai perlawanan terhadap penjajahan (anti-kolonialisme dan anti-imperialisme), yang notabene selama berabad-abad diderita rakyat di kawasan tersebut. Hingga saat ini, Dasasila Bandung yang menjadi hasil Konferensi Asia Afrika masih tetap dirasakan relevan maknanya di level global.

Namun situasi ekonomi-politik dunia yang menindas tidak berhenti begitu saja. Pada tahun 1944, 11 tahun sebelum Konferensi Asia Afrika berlangsung, muncul sebuah kesepakatan licik untuk menguasai dunia. Dirancanglah sebuah rejim ekonomi-politik yang mengatur tiga bagian besar isu secara global. Yang pertama adalah untuk mengatur moneter (keuangan) dunia, yang kedua mengatur pembangunan dunia, dan yang ketiga mengatur perdagangan dunia. Ketiga rejim yang akhirnya menjadi kaki tangan neokolonialisme-imperialisme inilah yang akhirnya membentuk rejim dana moneter internasional (IMF), rejim Bank Dunia, dan rejim perdagangan dunia (GATT—yang lalu berubah menjadi WTO).

Di bidang ekonomi-politik secara global, tahun 1944 ini juga menjadi tonggak munculnya ideologi baru yang disebut sebagai neoliberalisme. Ideologi inilah yang digunakan untuk menjajah kembali, yang merupakan tahap kedua dari kolonialisme-imperialisme. Jika tahap pertama kolonialisme-imperialisme dicirikan dengan ekspansi fisik dan dimulai dari Eropa, maka tahap kedua ini dimulai dengan dominasi ilmu pengetahuan dan model pembangunan dengan ideologi pembangunanisme (developmentalisme). Ideologi pembangunanisme ini sendiri pernah dipraktekkan di Indonesia dalam rejim Soeharto yang represif dan korup (1966-1998).

Sementara tahap ketiga dari penjajahan ini adalah yang seperti kita hadapi sekarang ini. Sesaat menjelang abad ke-21 muncullah istilah globalisasi, yang sebenarnya adalah perwujudan dari globalisasi-neoliberalisme. Globalisasi-neoliberalisme, yang sering disebutkan sebagai globalisasi saja, jelas merupakan salah satu transformasi kolonialisme-imperialisme menjadi neokolonialisme-imperialisme atau penjajahan gaya baru, lewat tiga pilar yang disebut Konsensus Washington, yakni (1) deregulasi; (2) privatisasi; dan (3) liberalisasi pasar.

Globalisasi-neoliberal merupakan suatu proses pengintegrasian sistem ekonomi-politik nasional ke dalam sistem ekonomi-politik global, yang diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut. Aktor-aktornya adalah negara-negara penjajah baru, perusahaan transnasional raksasa (TNCs), IMF, Bank Dunia dan WTO, serta lembaga-lembaga riset dan donor dunia. Mereka inilah yang mempromosikan kebijakan dan praktek fundamentalisme pasar, sehingga yang kuat secara kapital dialah yang terus berkuasa. Prakteknya juga dicirikan dengan pelan-pelan mengurangi kedaulatan rakyat dalam negara, sehingga peran negara lemah. Kurangnya peran negara ini dimanfaatkan aktor-aktor tersebut untuk mengisap kembali sumber daya manusia, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di negara-negara miskin dan berkembang.

Selanjutnya, aktor-aktor ini juga menggunakan peran negara yang lemah untuk membuat regulasi yang bisa menguntungkan mereka sendiri. UU atau peraturan yang disahkan pastilah mengenai tiga hal: (1) Diposisikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju; (2) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan (3) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.

Beberapa hal di atas itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah. Dan masalah yang diakibatkan ternyata tidak sama seperti yang terjadi pada jaman Perang Dunia atau di jaman Perang Dingin antara Amerika Serikat versus Uni Sovyet. Selama puluhan tahun sejak tahun 1940-an, sebenarnya secara relatif perdamaian telah terwujud di dunia. Namun disana-sini masih terlihat masalah-masalah yang sama berulang kembali dewasa ini. Masalah-masalah yang terus terlihat jelas dewasa ini adalah, peperangan yang menjatuhkan korban jutaan jiwa, jatuhnya bom atom, krisis nuklir, kelaparan ratusan juta jiwa rakyat di seantero dunia, kemiskinan di negara-negara belahan bumi selatan, serta ketidakseimbangan ekonomi-politik dunia.
Nasib umat manusia tentu tidak dapat ditentukan oleh beberapa bangsa yang kuat saja. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa-bangsa tunas baru yang menyeruak ke permukaan dari ratusan tahun kolonialisme, bangsa-bangsa baru di belahan bumi selatan bumi ini telah bersedia maju untuk memikul tanggung jawab bersama untuk mengubah dunia dari kekejaman penjajahan gaya baru. Bahkan suara untuk membentuk tata dunia baru yang lebih berperikemanusiaan dan berperikeadilan bisa dikatakan diinisiasi dari bangsa-bangsa baru ini.

Bahwa imperialisme belum lagi mati, itu jelas menjadi kesimpulan utama. Bahwa seluruh rakyat yang berada di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan dari belahan dunia lain merasakannya kembali saat ini, adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Penegasan yang dinyatakan rakyat adalah bahwa imperialisme telah berubah bentuk, berubah muka, berubah praktek, berubah modus operandi, berubah aktor-aktornya. Dan kesimpulannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penjajahan gaya baru, neokolonialisme-imperialisme itu harus dilawan.

Telah banyak pula muncul suara untuk melawan globalisasi-neoliberal dewasa ini. Telah banyak pula suara untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat dalam negara. Tak pupus pula rakyat di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengetuk semua forum, pintu dan kesempatan di dalam pergaulan masyarakat global untuk memerangi globalisasi-neoliberal. Dan untuk berjuang menghadapinya, jelas negara-negara bangsa harus bersatu dan tidak bisa tercerai-berai. Untuk memerangi makhluk terkutuk-musuh kedaulatan rakyat ini, jelas harus terwujud solidaritas antarnegara, antarbangsa, dan juga sesama rakyat sendiri.

Solidaritas ini tidak hanya sekadar memupuk persaudaraan dan gotong-royong yang kuat di antara seluruh rakyat tertindas, namun juga di sisi lain bahwa secara faktual neokolonialisme-imperialisme ini sangatlah kuat. Ia berwujud pada lapisan-lapisan yang kuat antaraktor-aktornya, ia berwujud pada kolaborasi yang mengerikan dari bawah hingga atas, ia terstruktur dari desa hingga ke level global, ia bergerak dari budaya keseharian di tengah kehidupan rakyat jelata hingga ke forum-forum internasional, ia bersilang-sengkarut dari perusahaan-perusahaan raksasa, birokrat, pemerintah korup, penguasa, lembaga keuangan dan perdagangan internasional, negara-negara hingga hegemoni global.